Ketika berbicara dan hanya fakta yang ditukarkan tanpa disematkan emosi, maka percakapan seperti ini akan hilang tanpa bekas
Sudah hampir lebih dari 3 tahun, YouTube channel The School of Life jadi tontonan wajib setiap pagi sebelum mulai aktifitas kerja. Tentutnya channel ini bukan satu-satunya yang menarik dan memberikan kepuasan untuk diikuti. Artikel di website nya juga menjadi bacaan rutin walaupun ada beberapa topik yang dibahas tidak bisa diterapkan di budaya kita. Walaupun demikian, karena ada topik yang dibahas lain yang bisa diambil dan dipelajarai lebih teliti sehingga bisa disandingkan dengan budaya kita.
Singkatnya, channel ini ngebahas atau lebih cocok menggunakan kata mempromosikan emotional intelligence. Yaitu kemampuan seseorang dalam menyikapi dunia dengan pendekatan emosi. Dan kemudian, mereka juga memberikan perspektif baru, menurut saya, bagaimana kita seharusnya, menurut mereka, bersikap terhadap suatu kejadian yang umum terjadi dan dialami oleh kebanyakan orang.
Salah satu yang sering mereka ulang-ulang dalam konten yang mereka buat adalah bagaimana kita yang sudah dewasa secara emosional bersikap terhadap pasangan kita yang ngambek. Atau kasus lain yang menarik juga yaitu bagaimana seseorang melihat keburukan atau kebodohan orang lain yang semestinya.
Dari sekian banyak pemikiran mereka yang ada baik di channel YouTube atau website nya The School of Life, ada yang sudah aku coba terapkan namun ada satu hal yang masih sangat susah untuk diterapkan, yaitu bagaimana mengutarakan secara verbal atau ngobrol tentang emosi dengan orang lain yang baru kenal, kawan lama atau kawan sekantor. Maunya ngobrol bukan lagi tentang fakta yang sedang tranding di twitter atau fakta sederhana tentang lawan bicara, atau fakta umum lainnya.
Nampaknya perlu dibahas sedikit tentang penggunaan kata “ngobrol tentang emosi”. Potongan kata
tentang emosi bukan ingin membahas istilah atau pengertian tentang bermacam-macamnya emosi manusia. Bukan pula ingin mengungkapkan perasaan terhadap lawan bicara seperti penggunaan kata aku senang ngobrol sama kamu, atau sebaliknya, aku tidak suka. Penggunaan kata “tentang emosi” adalah bagaimana di setiap percakapan kita dan apapun topik yang sedang dibahas harusnya ada emosi yang dicantumkan. Dalam kata lian tentang mencantumkan emosi disetiap percakapan ialah mendapatkan atau merasakan emosi tertentu tanpa dan atau menggunakan kata-kata yang deskriptif.
Merasakan emosi tertentu tanpa dan atau menggunakan kata-kata yang deskriptif
Yang ingin dicapai sudah dipetakan, yaitu mampu dengan lugas membawa emosi pada setiap kesempatan berkomunikasi dengan seseorang dan sekarang ialah bagaimana cara pragmatik supaya tercapai. Tercapai dan bisa secara spontan bersikap yang sama – menampilkan emosi – disetiap saat ketika berbicara. Nah, sampai saat ini, belum ada kerangka yang praktis untuk bisa diterapkan sehingga percakapan kita lebih terasa emosinya dan pastinya membuat orang merasa leluasa berbicara dengan kita.
Namun demikian, ada beberapa poin pinting alasan menyamatkan emosi ketika berbicara dengan seseorang baik di ruang tunggu di rumah sakit, atau ketika sedang berada di pantry kantor. Alasan utama yang perlu di advokasikan ialah karena sebenarnya berbicara tentang fakta saja itu membosankan. Jika kamu hanya ingin tahu pendapan saya tentang perubahan iklim yang sering dimediakan, sungguh itu sangat datar dan tidak ada nyawa dalam dialog ini. Walaupun ketika dialog seperti ini sudah memberikan feedback yang mampu menukar-balik pikiran, jika tidak ada atau tidak mampu menyamatkan emosi, maka percakapan ini biasa saja, tidak ada yang berbekas.
Kemudian, jika kita bisa memberikan emosi positif, dengan cara-cara yang dianngap baik, bagi lawan bicara kita, maka lawan bicara kita pastinya wajar, mengkin karena tidak sengaja, memberikan emosi yang sama tanpa disadarinya. Jika ada transaksi emosi yang telah anda inisiatifkan dalam percakapan kita, saya rasa
Supaya ia bisa memberikan emosi yang sama tanpa disadarinya
Selanjutnya, ada beberapa orang yang kita kenal sering mengutarakan pendapatnya dengan memberikan fakta-fakta akurat, menurut dia, berbicara lugas tapi tidak memberikan kesan yang berbekas. Yang kita dapatkan karena berbicara dengan dia hanyalah sebongkah fakta yang bisa jadi suatu hal yang baru atau ia hanya mengingatkan kembali hal yang dulunya pernah kita pikirkan. Orang-orang seperti ini biasanya menebur kesan sinis kerna ia merasa lebih banyak tahu dari orang lain.
Mungkin saja, dari kemungkinan kebenaran lainnya, langkah awal agar bisa menyamatkan emosi pada setiap percakapan kita adalah degan menggunakan kata-kata sederhana yang mewakili makna dari emosi-emosi tertentu. Kata seperti “bagaimana kamu akan merasa jika hal ini tidak terjadi”. Selain itu, kemampuan untuk mendengar dengan baik juga akan menyamatkan emosi ketika kita berbicara.
Maka mulai sekarang, ngobrol tentang fakta tidak seharusnya menjadi tujuan dan inti dari hubungan komunikasi manusia. Sejatinya, kita harus mampu menyematkan atau memberikan emosi baik bagi kita dan bagi lawan bicara kita. Tidak bisa dipungkiri, percakapan dengan rekan kerja tentang project yang sedang dikerjakan jika disamatkan dengan emosi positif, maka ini lebih sempurna.